Jumat, 13 Januari 2012
Satire Turisme Bali
Judul : Jangan Mati di Bali
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga : Rp. 54.000
Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan.
Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik.
Inilah yang dipertanyakan oleh Gde Aryantha Soethama dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali. Tidak hanya mempertanyakan, Gde Aryantha juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.
Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.
Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.
Salah perubahan yang tertangkap oleh Gde Aryantha adalah pengabaikan kesakaralan tampat-tempat tertentu, sebut saja pantai. Dalam kosmologi masyarakat Bali, pantai adalah tempat pertemuan dengan Sang Pencipta.
Tetapi turisme telah mengubah semuanya. Keindahan pantai tempat seseorang merenungkan keagungan Sang Pencipta telah menjadi komoditi. Tidak mengherankan jika sebuah upacara suci menjadi tontonan bagi turis asing yang tengah berbikini setengah telanjang.
Ironisnya lagi, tidak jarang satpam yang membentak orang Bali yang hilir mudik di pantai dekat hotel. Padahal dia adalah orang asli Bali yang mewarisi keindahan pantai di Bali.
Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.
Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.
Lewat buku ini Gde Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik.
Secara umum buku ini sesungguhnya menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian pelik.
Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata nasional harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya.
Daftar Pustaka :
Aryantha,Gde Soethama,2011,Jangan Mati di Bali.Jakarta:Penerbit Buku Kompas
Resensi Buku
Judul : Indonesia Mengajar
Penyunting : Ikhdah Henny dan Retno Widyatuti
Penerbit : Bentang
Tahun : November 2011
Tebal : xviii + 322 halaman
Harga : Rp. 54.000
Keharuan dan kekaguman. Itulah yang terasa jika pembaca menyimak kisah-kisah dalam buku ini. Bagaimana tidak, para guru muda yang ditempatkan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia, telah menemukan berbagai pengalaman yang memberikan makna lain pendidikan.
Mereka tidak lagi bicara soal teori pedagogi ataupun jargon-jargon yang diungkapkan oleh otoritas terkait mengenai pendidikan. Sebaliknya, mereka melakukan sebuah tindakan konkret dalam dunia pendidikan. Inilah yang sebetulnya dibutuhkan oleh Indonesia pada saat ini.
Lewat program Indonesia Mengajar yang digagas oleh orang-orang yang ingin melakukan tindakan nyata untuk kemajuan Indonesia, para sarjana dari berbagai perguruan tinggi, diundang untuk menjadi guru di berbagai pelosok daerah di Indonesia.
Rasanya, hanya “keterpanggilan” saja yang membawa para sarjana dari berbagai disiplin keilmuan itu mau berada di tempat-tempat jauh dari tempat berdiskusi para pemegang otoritas pendidikan. Mereka tidak sekadar mencari pengalaman apalagi uang, melainkan datang untuk berbuat sesuatu yang nyata bagi Ibu Pertiwi.
Sulit rasanya mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok anak muda yang sekadar mengisi waktu sebelum bekerja di instansi tertentu. Sebab pada dasarnya anak-anak muda ini memiliki prestasi serta pencapaian di atas rata-rata. Jadi sesungguhnya tidak sulit bagi mereka untuk bekerja di lembaga atau instansi yang "menjanjikan".
Lalu, apa yang mereka dapatkan selama satu tahun berada tempat mereka ditugaskan? Apalagi kalau bukan sebuah pengalaman batin, pengalaman kemanusiaan dan pengalaman keindonesiaan.
Pengalaman-pengalaman itu sering kali bukan didapat dari peristiwa-peristiwa besar atau bernuansa heorik. Pengalaman semacam itu justru dari hal-hal sederhana, terutama dari hasil interaksi mereka dengan murid-murid dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Kisah mengenai “anak nakal” yang ternyata pandai dalam mata pelajaran matematika (hal. 55) misalnya, menunjukkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai “preman” di kelas, terkadang memiliki kemampuan di atas rata-rata di bidang lain.
Di sinilah tugas seorang pendidik sesungguhnya. Pendidik bukanlah memberikan label buruk pada si anak, justru harus menemukan cara agar kemampuannya dapat berkembang, sekaligus mengubah perilaku yang secara umum dianggap “mengganggu”.
Hal yang serupa juga terjadi dalam kisah Syahrul Si Asisten Guru (hal. 61) yang ditulis oleh Intan nuni wahyuni, Munarsih (hal. 64) yang ditulis oleh Bayu Adi Persada, Ibu Guru Laini (hal.69) yang ditulis oleh Junarih, maupun Semua Tentang Rizky (hal. 85) yang dikisahkan oleh Dwi Gelegar G Ramadhan.
Tidak semua pengalaman yang dikisahkan dalam buku indah. Kekesalan, tekanan, bahkan rasa hampir frustrasi juga dialami oleh para pendidik muda ini. Itu semua karena berhadapan dengan siswa dan lingkungan baru selalu memunculkan masalah. Tidak mulusnya proses adaptasi adalah salah satu sumbernya.
Hal ini memperlihatkan bahwa pendidik muda tersebut memiliki titik lemah. Itulah sisi kemanusiaan. Persoalannya, apakah meraka sanggup melewatinya? Perjalanan selama setahun membuktikan bahwa mereka sanggup. Ini membuktikan bahwa integritas dan mentalitas mereka sudah teruji.
Dari setiap pengalaman yang disampaikan oleh para guru yang terlibat dalam program ini, terlihat bahwa mendidik bukan sekadar mengajarkan materi-materi pelajaran yang telah digariskan dalm kurikulum, melainkan juga menjadikan murid menemukan dirinya sendiri.
Selain itu, hal yang lebih penting adalah, usaha untuk terus menumbuhkan optimisme kepada para murid. Di tengah fasilitas serta ketersediaan dana yang terkadang serba terbatas dan tidak mencukupi, guru harus menumbuhkan semangat dan optimisme kepada para murid untuk berbuat sesuatu bagi diri maupun masa depannya.
Buku ini seharusnya menjadi inspirasi bagi guru-guru di daerah lainnya. Mendidik bukan sekadar menabungkan ide atau gagasan secara sistematis, melainkan memberikan bekal kepada mereka untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
Daftar Pustaka :
Henny Ikhdah,Retno Widyatuti,2011,Indonesia Mengajar.Jakarta:Bentang
Langganan:
Postingan (Atom)